Walini Tea Afternoon Tea Pop up in Canada
- 18 Jan, 2025
Di tengah siang hari yang panas,
kami berkunjung ke rumah Ibu Camellia Salhuteru, di bilangan Bandung. Meskipun
Bandung sedang panas-panasnya, suasana ruang tamu di rumah Ibu Lia (begitu
sapaannya) tidak demikian.
Di salah satu sisi tembok ruang
tamu tersebut, terdapat potret almarhum ayah dari Ibu Lia, Bapak MaximiliaanIzaac Salhuteru beserta istrinya.
Di sampingnya terdapat
lukisan-lukisan karya Bapak Max
dan foto necis beliau menggunakan pakaian perkebunan khas jaman dulu; celana
pendek, kaos kaki panjang, kemeja dan topi putih.
Ditemani suara gemericik air
kolam, kami diajak menyusuri kembali memori Ibu Lia tentang ayahnya yang
dikenal sebagai sebagai tokoh yang menasionalisasi Perkebunan di Jawa Barat.
Cerita dimulai ketika Bu Lia,
mengenang kembali masa kecilnya ketika berumur 7 tahun. Saat itu, Lia kecil seringkali ?dipaksa? oleh ayahnya
untuk ikut inspeksi harian ke pabrik-pabrik teh dan perkebunan-perkebunan di Sperata, Sinumbra, Rancasuni,
Montaya, serta Gedeh.
?Lia gamau ikut papih, Lia
mau di rumah aja?
?Nee, kamu ikut papih ke
kebun?, sambil diangkatnya Ibu Lia dan didudukkan di mobil dinasnya.
Ibu Lia tidak tahu kenapa ?harus ikut dengan ayahnya ke
perkebunan-perkebunan, yang Lia kecil tahu saat itu hanyalah
bermain.
Dengan tertawa, Ibu Lia juga
bercerita
?Pernah satu hari, papi
baru tasting teh di pabrik. Saya yang bosan, pergi ke ruang pelayuan. Saya liat
ada monorail baru yang mengangkut
pucuk teh ke bak pelayuan. Saya naik itu monorail yang bergantung untuk membawa keranjang pucuk teh
sampai keatas.
Ayah saya yang kaget saya hilang,
nyariin saya sambil teriak ?Lia, kamu dimana? Lia!?. Saya yang keasyikan
bermain, gak denger papi nyariin saya. Yaaah, kenakalan anak-anak namanya juga heu?, kelakar Ibu
Lia.
------
Namun, dari pengalaman ketika ikut ayahnya bekerja, ada
beberapa pesan moral yang yang masih diingat betul oleh Ibu Lia. Antara lain;
Saat inspeksi kebun, ayahnya
selalu memanggil pedagang makanan
yang lewat, baik itu pedagang cincau, pedagang bajigur dan bandrek untuk
berhenti ke tempat beliau ngariung.
Seluruh pemetik teh dan bekerja di lokasi itu ditraktirnya.
Sambil bersantai menikmati minuman yang dibelinya, beliau bertanya apa kesulitan mereka juga memberikan
nasehat kepada mereka.
Intisari dari nasehat tersebut adalah kita semua harus selalu bisa saling menghargai, saling tolong-menolong dan saling menghormati satu sama lainnya.
Yang membuat Bapak Max Salhuteru
sangat dekat dengan karyawannya, karena beliau tidak hanya bisa berbahasa
sunda. Tapi beliau pandai memainkan alat musik dan kesenian-kesenian khas
sunda, meskipun beliau lahir di Jakarta dan berdarah Maluku.
Selain nyunda, Bapak Max
Salhuteru yang seorang katolik, tetapi
beliaulah mendesain masjid di
Kebun Sinumbra, Kebun Rancasuni dan Sperata selain rumah-rumah baru staf dan karyawannya.
?Saya dulu diwajibkan belajar mengaji bersama kakak-kakak saya. Tapi memang dasar anak-anak, kami seringkali bolos
dan rupanya Papih mengetahuinya, sampai satu ?malam, saya dan kakak saya dipanggil oleh papih.
?Lia, Lisye, Emma kadieu. Cing geus
tepi dimana ngaji teh, (Lia, Lisye, Emma,
kemari. Sudah sampai mana ngajinya?) sok ngaji depan
papih? kata beliau.
Kakak saya langsung bilang ?Udah,
asal-asalan aja bacanya, papih paling gak paham sama cara bacanya?
Kami pun asal-asalan baca kitab itu. Tetapi, beliau memotong kami mengaji (yang
asal-asalan itu) ?Bukan gitu? bacanya,
begini bacanya? katanya. Dan Papihpun dengan
fasih membaca Al-Quran.
Lah, ternyata papih lebih jago baca
kitab dibanding anak-anaknya,
dan kamipun dihukum berdiri dengan kaki sebelah diangkat, di sudut ruangan.
Dengan begitu papih mengajarkan bahwa kewajiban apapun harus
dilakukan dengan baik dan benar, tidak berbohong,? jujur dan harus bertanggung jawab.?
------
Tidak terasa 2 jam kami semua
diajak Ibu Lia menyelami memori masa kecilnya bersama papihnya.
?Sampai akhir hayatnya, beliau dedikasikan kepada
Perkebunan yang beliau cintai, ini terbukti beliau mengalami serangan jantung
setelah membuka rapat pimpinan dan meninggal di Surabaya ketika
menjalankan tugasnya sebagai Kepala Perkebunan Jawa & Sumatera.
Walaupun dulu saya tidak tahu kenapa saya yang selalu diajak papih
buat inspeksi kebun, tetapi
sekarang saya tahu dan mengerti
bahwa pendidikan, ajaran mengenai bagaimana kita harus bersikap baik kepada
semua orang, baik terhadap atasan, bawahan dan semua orang dengan status sosial
apapun.?
Berharap cerita-cerita tentang Bapak Max Salhuteru ini mengenai perjuangan dan kecintaan beliau terhadap
Perkebunan ini layak diketahui
dan dijadikan contoh.
Kami pun pamit dari rumah Ibu
Camellia selepas adzan dhuhur.
Ibu Lia juga berterima kasih kepada kami dan merasa terharu, karena ada pihak-pihak ?apalagi anak-anak muda yang masih peduli? dan ingin mengetahui sejarah dan pelaku sejarah yang berjasa terhadap Perkebunan, khususnya Perkebunan Teh di Jawa Barat.
?Hati-hati di jalan ya nak, semoga kalian diberi kesehatan dan jangan
lupa mampir lagi ya?, ujarnya.
Pasti Ibu, kami akan datang lagi.